Atau, untuk lebih mudahnya, disajikan pada grafik berikut.
Kelihatannya makin bersinar nih si Bapak Purnama, a.k.a Ahok. Sandungan kasus tiiiiit itu alih – alih menurunkan pamornya, terlihat justru mendongkrak drastis elektabilitas beliau.
Bahkan, dengan redaksional pertanyaan yang cukup ‘vulgar’ seperti Blogger,
“Setelah Ahok dijadikan tersangka, siapakah sekarang menjadi pilihan Anda?”
netizen malah terlihat makin mantap menaruh kepercayaan padanya. Wah pake banget kan?
Sebagai tambahan, rilis terbaru dari PoliticaWave berikut juga menunjukkan trend yang sama. Popularitas paslon nomor 2 ini makin menanjak, dan meningkat drastis pasca penetapan status tersangka beliau.
Apakah itu berarti Ahok akan bisa meraih kemenangan dengan mulus?
Sepintas sih iya. Kan survey sudah membuktikan itu. Jadi, kalau sampai kalah, awas ya. Pasti ada kecurangan. Itu kira – kira suara hati saya seandainya berada di posisi Ahokers sejati.
Pertanyaanya adalah, sejauh mana hasil survey itu bisa dipercaya?
Tergantung banyak faktor.
Apa saja faktor – faktor tersebut?
Yang pertama, dan utama, bagaimana tingkat keterwakilan pemilih (di dunia nyata) dengan partisipan survey (di dunia maya).
Beberapa hal bisa ditelusuri lebih dalam dari sini
- Apakah yang mengikuti survey dibatasi hanya penduduk Jakarta, yang punya hak pilih?
- Apakah mereka sudah mewakili kondisi sebenarnya penduduk DKI?
- Apakah ada kepentingan di belakang pelaksana survey? Ini bisa dilihat dari transparansi. Apakah dijelaskan metode pengambilan sampel?
- Untuk kebanyakan survey di atas (twitter, media online), hal tersebut dapat dinilai dengan jelas.
- Bagaimana dengan lembaga survey? LSI misalnya, pada link di atas, tidak ada tercantum berapa jumlah dan bagaimana pemilihan respondennya.
- Untuk apa mencantumkan data tersebut?
Contoh , penentuan tingkat kepercayaan survey. Asumsikan jumlah pemilik hak pilih pilkada DKI Jakarta sebanyak 7,636,466 orang (link). Dengan jumlah responden pada masing – masing survey, diperoleh margin of error (tingkat kesalahan) dari polling yang dilakukan:
- Iwan Falls, H. Lulung, dan Merdeka.com adalah 1%,
- Elshinta dan Republikpos.com adalah 2 %, dan
- Golkar, Blogger, dan PB HMI 3%.
Ketidakjelasan akan faktor - faktor di atas pada lembaga sekelas LSI berbuah kritik, slah satunya dari Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti, peneliti LIPI (link). Apa pasal? Menurut beliau, survey LSI sarat kepentingan politis, mengingat LSI merupakan konsultan salah satu pasangan calon yang akan bertarung di pilkada. Apa yang salah dengan hal ini? Tak ada yang salah sesungguhnya. Asal, kemurnian ‘ilmu survey’, mulai dari perancangan pertanyaan, penentuan responden, hingga penyajian hasil tidak ‘dibelokkan’ oleh kepentingan – kepentingan tertentu. Karena, ketika suatu kepentingan sudah bermain, alih –a lih menyajikan kenyataan di lapangan, survey justru bisa jadi senjata untuk pembentukan opini seolah – olah itulah kenyataannya. Jadi, waspadalah. Waspadalah. Hati – hati membaca survey. Siapa pun bisa membuat survey. Seperti yang ini, ada aja :)
Sumber data:
H. Lulung, Golkar, Radio Elshinta, LSI, Republikpos.com, Iwan Fals, Blogger, Merdeka.com, PB HMI.
No comments:
Post a Comment
Relevant & Respectful Comments Only.