Sebentar lagi pildacil, eh pilkada nih. Walaupun konon kabarnya akan dilaksanakan secara serentak di 101 daerah di Indonesia (
link) , namun tahu dong yang paling hot di mana? Semua mata tertuju padanya. Yup, DKI Jakarta. Heboh euyyy, apalagi semenjak kasus itu tuh
tiiiiitttt sensor.
Bukannya terpuruk, pamor sang purnama kelihatannya makin mentereng nih.
Masa sih?
Beberapa survey, baik dari lembaga maupun individu yang punya cukup banyak ‘
jamaah’ di dunia maya mengklaim hal tersebut. Dari survey singkat dengan bantuan mbah Google, diperoleh beberapa hasil, dirangkum berdasarkan urutan waktu pelaksanaan, sebagai berikut:
Atau, untuk lebih mudahnya, disajikan pada grafik berikut.
Kelihatannya makin bersinar nih si Bapak Purnama, a.k.a Ahok. Sandungan kasus
tiiiiit itu alih – alih menurunkan pamornya, terlihat justru mendongkrak drastis elektabilitas beliau.
Bahkan, dengan redaksional pertanyaan yang cukup ‘
vulgar’ seperti Blogger,
“Setelah Ahok dijadikan tersangka, siapakah sekarang menjadi pilihan Anda?”
netizen malah terlihat makin mantap menaruh kepercayaan padanya. Wah pake banget kan?
Sebagai tambahan, rilis terbaru dari PoliticaWave berikut juga menunjukkan trend yang sama. Popularitas paslon nomor 2 ini makin menanjak, dan meningkat drastis pasca penetapan status tersangka beliau.
Apakah itu berarti Ahok akan bisa meraih kemenangan dengan mulus?
Sepintas sih iya. Kan survey sudah membuktikan itu. Jadi, kalau sampai kalah, awas ya. Pasti ada kecurangan. Itu kira – kira suara hati saya seandainya berada di posisi Ahokers sejati.
Pertanyaanya adalah,
sejauh mana hasil survey itu bisa dipercaya?
Tergantung banyak faktor.
Apa saja faktor – faktor tersebut?
Yang pertama, dan utama, bagaimana
tingkat keterwakilan pemilih (di dunia nyata) dengan partisipan survey (di dunia maya).
Beberapa hal bisa ditelusuri lebih dalam dari sini
- Apakah yang mengikuti survey dibatasi hanya penduduk Jakarta, yang punya hak pilih?
Jika tidak, maka apalah arti keunggulan Ahok 97% jika mayoritas partisipan polling berasal dari luar DKI. Ini kan mau pilih gubernur daerah khusus Ibukota, bukan gubernur daerah
twitter.
Kalaupun sudah melewati saringan pertama, partisipan adalah penduduk DKI yang punya hak pilih. Pertanyaan berikutnya,
- Apakah mereka sudah mewakili kondisi sebenarnya penduduk DKI?
Bagaimana saya tahu bahwa itu mewakili atau tidak?
Simpelnya begini. Apakah semua penduduk DKI pengguna aktif internet?
Kalau tidak, berapa persen yang aktif di dunia maya? Kalau pun aktif, berapa persen yang cukup peduli untuk berpartisipasi dalam survey semacam ini? Kalau pendukung garis keras, gak perlu ditanyakan itu.
Kalaupun misalkan jawabnya ya, apakah konstelasi pendukung semua calon berimbang?
Misal, pada survey yang dilakukan Blogger. Besar kemungkinan pastisipannya adalah yang rutin mengikuti tulisan beliau. Apa artinya? Sebagian besar mungkin karena suka dengan pemikiran beliau, yang notabene terlihat pro-Ahok.
Jadi, ibarat kata
Cak Lontong, “Saya survey 100 orang, dan semuanya bilang suka dangdut. “
Surveynya di mana? "Di konser dangdut." Oalaaaahhhh Cak....
Faktor berikutnya adalah:
Apakah pelaksana survey objektif?
Ini bisa dinilai dari kemasan pertanyaan yang diajukan. Apakah netral, atau ada muatan pesan tertentu? Apakah ada ambiguitas?
Sebagai contoh lagi, dari pertanyaan Blogger tersebut di atas. Jika diajukan pada kalangan pro-Ahok, redaksional tersebut jelas akan meningkatkan militansi mereka. Bagaimana tidak? Ahok tersangka. Ayo lawan! Menangkan Ahok 1 putaran!
Respon ekstrim yang sebaliknya niscaya akan diperoleh jika diajukan pada pendukung Agus atau Anies.
- Apakah ada kepentingan di belakang pelaksana survey? Ini bisa dilihat dari transparansi. Apakah dijelaskan metode pengambilan sampel?
- Untuk kebanyakan survey di atas (twitter, media online), hal tersebut dapat dinilai dengan jelas.
- Bagaimana dengan lembaga survey? LSI misalnya, pada link di atas, tidak ada tercantum berapa jumlah dan bagaimana pemilihan respondennya.
- Untuk apa mencantumkan data tersebut?
Tentu untuk menilai kredibilitas hasil survey.
Contoh , penentuan tingkat kepercayaan survey.
Asumsikan jumlah pemilik hak pilih pilkada DKI Jakarta sebanyak 7,636,466 orang (
link). Dengan jumlah responden pada masing – masing survey, diperoleh
margin of error (tingkat kesalahan) dari polling yang dilakukan:
- Iwan Falls, H. Lulung, dan Merdeka.com adalah 1%,
- Elshinta dan Republikpos.com adalah 2 %, dan
- Golkar, Blogger, dan PB HMI 3%.
Artinya, jika pada polling Iwan Fals 62% responden memilih Ahok, maka dengan tingkat kepercayaan 95 % , pemilih Ahok sesungguhnya adalah antara 61% hingga 63% . Hasil ini
reliabel jika metode pollingnya sudah memenuhi beberapa kaidah untuk menjamin keterwakilan setiap kelompok pemilih.
Ketidakjelasan akan faktor - faktor di atas pada lembaga sekelas LSI berbuah kritik, slah satunya dari Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti, peneliti LIPI (
link). Apa pasal? Menurut beliau, survey LSI sarat kepentingan politis, mengingat LSI merupakan konsultan salah satu pasangan calon yang akan bertarung di pilkada.
Apa yang salah dengan hal ini? Tak ada yang salah sesungguhnya. Asal, kemurnian
‘ilmu survey’, mulai dari perancangan pertanyaan, penentuan responden, hingga penyajian hasil tidak ‘dibelokkan’ oleh kepentingan – kepentingan tertentu. Karena, ketika suatu kepentingan sudah bermain, alih –a lih menyajikan kenyataan di lapangan, survey justru bisa jadi senjata untuk
pembentukan opini seolah – olah itulah kenyataannya.
Jadi, waspadalah. Waspadalah. Hati – hati membaca survey. Siapa pun bisa membuat survey. Seperti yang ini, ada aja :)
Sumber data:
H. Lulung,
Golkar,
Radio Elshinta,
LSI,
Republikpos.com,
Iwan Fals,
Blogger,
Merdeka.com,
PB HMI.
No comments:
Post a Comment
Relevant & Respectful Comments Only.