"There are three kinds of lies: lies, damned lies and statistics."
- Mark Twain-
Beberapa hari belakangan ini ramai diperbincangkan di
social media mengenai perbandingan dua presiden, Jokowi dan Erdogan. Konon katanya, ada satu kubu yang getol dan penuh semangat mengagung-agungkan tamu negara tersebut, sampai – sampai memimpikan suatu hari beliau menjadi presiden Indonesia; tak lupa merendahkan presidennya sendiri. “Eits, gw gak pernah nganggep dia presiden kok, “ mungkin itu jawaban mereka. Konon katanya lagi, kubu ini adalah barisan yang belum bisa
move on dari pilpres kemarin. "Hadeuh mas bro, sista, kakak, om tante, sedulur – sedulu,
move on dong", begitulah kalimat yang sering digunakan netizen.
Di satu sisi, kubu kedua tak kalah sibuk membela jagoannya. Maju tak gentar membela yang bayar, prinsip mereka. Eits, maksudnya membela yang benar... #peace
Ini sebenarnya ngomongin politik atau statistika sih? Oke oke, kembali ke laptop, eh statistika. Jadi maksudnya, di salah satu postingan yang wara wiri di medsos, ada tabel yang membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Turki selama 10 tahun terakhir. Tentunya itu merupakan argumen yang cukup objektif dong, dibandingkan dengan "
analisa mimik muka dan sorot mata" dari pengamat politik internasional suka – suka gue ala kubu sebelah? Bandingkan dengan angka – angka yang bertengger manis di situ, siapa yang berani membantah? Itu statistik loh, dari lembaga yang kredibel pula. Siapa yang mampu menafsirkan, misalnya penerawangan sorot mata dan mimik muka ala angka – angka? Kecuali ada ilmu baru memaknai angka dibalik rangka perangkai angka sebagai perangkat untuk mengangkat pemegang mandat supaya tidak mangkat. "
Halahhhh, apaan sih??? Pusing deh pala barbie"...
Oke, fokus! :) Kali ini serius. Ambil salah satu item pada table tersebut, GDP/capita.
Mari kita tutup mata saja terhadap nilai nominalnya, daripada makan tak enak tidur tak nyenyak membayangkan timpangnya angka – angka tersebut. "
Lihat pertumbuhannya dong. Kita meningkat sebesar 152 %, dibandingkan Turki hanya 49%. Makna tersirat, pemerintah kita lebih berhasil dong"
"
Oooh, seperti itu?" # Syahrini.mode.on.
Teringat akan pemaparan dosen statistika di kelas MoLin (Model Linier) saat S1 dulu. Iya, MoLin, bukan molen, apalagi pisang molen Bandung, yummy…MoLin mah jauh dari yummy, yang banyak mah
dummy variable yang suka bikin mumet.
OK, fokus lagi! :P “Jika kita ingin mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat, kira – kira apa yang akan kalian ukur?” tanya beliau.
Ah, itu mah gampang. Tanyakan saja penghasilannya berapa, beres kan? Masyarakat yang tingkat penghasilannya lebih tinggi tentu lebih sejahtera dibandingkan yang tingkat penghasilannya lebih rendah. Gitu aja kok repot!
“Jadi, seseorang dengan penghasilan 5 juta, lebih sejahtera dibandingkan dengan orang yang berpenghasilan 1 juta?” lanjut beliau.
Ya jelas dong.
“Sekarang misalkan, ternyata yang berpenghasilan 5 juta, 70% dari penghasilannya habis untuk konsumsi karena harga- harga mahal, sehingga jangankan punya tabungan, untuk kebutuhan lain macam transportasi dan biaya sekolah anak pun hampir tidak mencukupi. Sementara, yang berpenghasilan 1 juta hanya mengeluarkan 30% penghasilan untuk konsumsi, masih bisa memenuhi kebutuhan sekunder lainnya, bahkan masih bisa menyisihkan 30% untuk menabung. Mana yang lebih sejahtera sekarang?”
Oh iya ya… manggut – manggut…
“Jadi, masih mau menggunakan penghasilan sebagai alat ukur kesejahteraan?”
Kayaknya sih nggak.
“Jadi, bagusnya apa dong?”
Apa ya? Pengeluaran mungkin?
“Bisa jadi lebih baik. Tapi, melihat pengeluaran tanpa membandingkan dengan penghasilan juga bisa menyesatkan. Ada yang lebih baik dari itu?”
Diam… rasanya kok tahu tapi tak tahu, gampang tapi sulit diungkapkan dengan kata – kata. Duilahhh… :)
“Bagaimana kalau rasio atau persentase penghasilan untuk konsumsi?”
Nah, maksudnya itu tadi...
Kalau penghasilan hanya cukup untuk makan, apa masih bisa dikatakan sejahtera? Percuma gaji besar kalau pengeluaran juga besar, apalagi kalau besar pasak daripada tiang.
OK, move on. Jadi kaitannya dengan perbandingan GDP di atas bagaimana dong? Kan jelas – jelas pemerintah kita kinerjanya lebih baik dibandingkan dengan pemerintah sebelah, meningkat gitu loh GDP nya.
Ya, angka – angka nan bertengger manis itu adalah fakta tak terbantahkan. Yang lahir dari serangkaian proses ‘ilmiah’ yang tidak pendek. Tapi apakah itu jadi indikator kesejahteraan yang
reliable?
Teringat saya akan chat di grup WA, dari ibu – ibu muda nan unyu – unyu yang baru kembali ke tanah air, setelah sekian tahun terdampar di negeri kangguru.
Ibu 1: “Ih, kaget az kmrn suami makan nasi uduk di ruko² al*m s*ter*… Cuma pk ayam yg kecil, tambah ati ampela dan paru yg kecil² juga…pas bayar 90rb, makan sendirian loh.”
*pingsaaaaaaann
“Biaya hidup di sini sepertinya akan menyamai Brisbane. Bedanya sekarang pemasukan kami udah rupiah lagi, bukan $ :'( :'( :'(”
Ibu 2: “MashaAllah…nasi uduk apa ituuu smp segitu mahalnya.”
Ibu 3: “Adduuuh… Emang bener jeng. Pas aku plg ke Indo Desember kemaren dr airport mampir ke *lf*mart cuma beli odol, sikat gigi, pembalut, shampoo, sabun cuci muka udah habis 300 rb…kaget boo..”
Ibu 4: “Terakhir mudik Indo emang udah mahal kok apa² di Jkt. Buah2an di a*l fr*sh juga harganya sama kayak di Coles. Makanya pas sampe sini lagi (Oz), kerasa hidup di sini fair banget… Antara pengeluaran dan pendapatan.”
Ibu 5: “ Welcome home jeng… sekarang di Jakarta udah muahal² buangettt. Nanti kl belanja akan ter-kaget² lagi deh. Apalagi makan di mall…hiiiiks bisa sampe minimal 400rb itu ber-4 :-o ”
Ibu 1: “Kami belum melangkahkan kaki ke mall, kemarin beli pecel madiun aza ber-2 abis 200rb…padahal menunya cuma nasi pecel :'( ”
Ibu 5: “Siap2 terkaget² deh jeng… belanja di supermarket udah gila²an di sini. Cuma ngisi kulkas aja udh muahaaaallllnya. Ke pasar bawa uang 100rb dptnya dikit banget”
Ibu 6: “Wuihh yg bener jeng..koq ngalah²in harga di Brisbane sihh, huhuhu...”
Ibu 2: “Serreeeeem yak… Kasiaaaan mbak yang orang- orang kecil :(”
Ibu 1: “Yuk ibu – ibu kita pengsaaaann berjamaah :-o ”
Dan seterusnya, makin hot aja perbincangan kami. Namanya juga ibu – ibu heboh bin rempong. Daftar harga barang, perbandingan dengan harga sebelumnya, biaya sekolah anak, uang jajan anak, dst dsb… Rasanya kalah para pengambil dan pengolah data terlatih jika dibandingkan ibu – ibu ini. Berita pertumbuhan ekonomi Indonesia yang katanya lebih baik daripada kebanyakan negara lain tidak ada artinya di grup ini.
Jadi, kesimpulannya apa?
Tidak ada yang salah dengan statistik perbandingan GDP tersebut. Tapi, kembali mengutip Mark Twain, "
There are three kinds of lies: lies, damned lies and statistics."
Tak usahlah jauh – jauh menengok statistik tetangga sebelah. Jujurlah padaku bila kau tak lagi cinta…eeeaaa….
Disclaimer:
- Pembahasan ini tidak ada tendensi untuk mendukung kubu tertentu ya... Hanya karena tertarik dengan data - data yang ada.
- Masih ada beberapa poin dari tabel yang dirujuk yang tidak ditampilkan, yang jika dilihat secara keseluruhan baru dapat memberikan informasi yang utuh dan cukup objektif. Agar pembahasan tidak terlalu panjang, tiap poin akan dibahas terpisah.
Salam damai ala BundaBun ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Relevant & Respectful Comments Only.