OK, ini adalah table lengkap yang belakangan ini wara – wiri di ranah media social kawan – kawan sebangsa dan se-tanah airku tercinta Indonesia.
Indonesia VS Turkey
Pada artikel “
Jujurlah Padaku: antara Jokowi, Erdogan, dan Nasi Pecel, hanya 1 item yang dibahas, yaitu GDP/Capita (nominal)-USD. Sebelumnya klarifikasi dulu ya, saya bukanlah ahli ekonomi maupun politik, 2 hal yang mungkin terkait erat dengan euphoria penampakan table ini di laman medsos sebahagian kawan kita. Belajar ekonomi juga paling banter jaman sma, dahuluuuuu kalaaaaa. Alih – alih politik. Jarang sekali saya tertawa melihat acara humor, kecuali dua: Mr. Bean, dan belakangan stand up comedy para komikus Indonesia. Itu baru keren, menurut saya loh. Tapi, entah selera humor saya yang meningkat atau memang ada genre humor baru, tiap kali denger berita politik tanah air, dengan tingkah polah para wakil rakyat maupun pejabatnya yang kinyis – kinyis dan unyu – unyu, sontak saya selalu tertawa. Lucu tennaannnn rek….
Eits, kenapa malah curcol sih?
Maksudnya, hanya mengingatkan bahwa apa yang tertulis di sini semata – mata hanya menelaah angka – angka nan cantik jelita pada table tersebut dari sudut pandang statistika. Titik. Terlepas dari keabsahan maupun motif adanya table ini, saya hanya mampu berserah diri pada yang Kuasa. Tssaaah… lebay mode on ini mah…
OK, kali ini kita ambil item Consumer Price Index (CPI), dengan tahun 2005 sebagai acuan. Lihatlah betapa indahnya angka itu, terpampang nyata pada baris ke-11 kolom ke-3: 124,39. Jauh lebih indah dibandingkan tetangganya, 2 kolom ke kanan: 210,36.
Betapa hatiku takkan pilu, telah gugur pahlawanku… Eh, salah deng… maksudnya, betapa hatiku tak bahagia, keharuan membuncah ruah menyentakkan dada, betapa selama kurun waktu 10 tahun negeriku tercinta hanya mengalami peningkatan CPI sebesar 24.39%. Bandingkan dengan negara idaman kubu sebelah, payah nian pemimpinnya. Tak mampu dia mengendalikan harga macam negara kita. Lihat saja, kenaikan harga di negara tersebut 110.36%.
Maksudnya apa sih? Simpelnya, selama kurun waktu 10 tahun, terhitung sejak 2004, secara rata – rata kenaikan harga hanya 24.39%. Jadi pemirsa, jika ingin dikupas lebih dalam lagi, walau tak bisa setajam silet, maka misalkan dulu tahun 2005 harga 1 kg ayam broiler sekitar Rp 15.000 (
LINK), maka di tahun 2014 harganya adalah sekitar Rp 18.700. Tentu saja ini hanya interpretasi yang sangat sangat disederhanakan, karena sesungguhnya CPI mencakup kombinasi dari harga beberapa komponen yang sekiranya ‘mewakili’ pola konsumsi (wakil) masyarakat Indonesia, yang dipilih dengan metode tertentu, dan dihitung dengan cara tertentu pula. Sehingga, secara umum, CPI cukup dikatakan mewakili perkembangan harga – harga pada kurun waktu tertentu. Namun, sebagai seorang emak – emak rempong, dimana urusan dapur menempati prioritas utama, maka dipilihlah si ayam sebagai pewakil makna. Apalagi untuk chef handal macam saya, ayam goreng selalu menjadi menu andalan, maklum levelnya baru segitu. Hingga ketika krucils protes, “
Chicken again?” dengan sorot mata tajam dan suara sedingin es saya hanya menjawab, “
Just eat what you have”. Eits, stop curcol… balik ke masalah utama.
Terus, masalahnya apa?
Ya nggak apa – apa sih. Cuma, orang statistika itu punya penyakit akut. Maunya selalu dapat hasil yang bagus. Segala macam teknik dicoba supaya tujuan tersebut tercapai. Tapiii, kalau hasilnya terlalu bagus, dia juga ga suka. Too good to be true, katanya. Rese’ kan? Nah, terlepas dari nama besar lembaga yang mengeluarkan data untuk table tersebut, kok rasanya gimannnaaa gitu… bagus banget.. terlalu bagus malah. Iseng saya coba cari data lain, salah satunya seperti grafik di bawah.
Sumber: http://www.tradingeconomics.com/australia/consumer-price-index-cpi
Tapi bener loh, menggunakan periode waktu yang sama, CPI Indonesia meningkat sekitar 29%, tidak terlalu jauhlah dari apa yang tercantum pada tabel di atas.
Tapi kok? Rasanya masih ada yang mengganjal ya…
Soalnya, di grup wa ibu – ibu yang saya ikuti, masih hot membahas perkembangan harga – harga, terutama dari ibu – ibu yang baru kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan masih shock dengan penyesuaian anggaran rumah tangga dengan perkiraan harga mereka.
Ibu 1: "Uang jajan anak berapa mb per hari?"
Ibu 2: "Bakso di kantin sekolah skrg harganya 16rb. Roti 7rb."
Ibu 1: "Wah…bawain jajannya paling gak 20rb ya."
Ibu 2: "Gak cukup mbak, minum aja 4rb sebotol. Jadi sehari anak – anak kl mau jajan bawanya kudu 30rb minimal. Kl kehabisan minum harus beli lagi kan di kantin, kasian klo ga minum."
Ibu 1: "Dulu (2 thn yg lalu) anakku klo sampe sore sekolahnya aku bawain 15rb.."
Ibu 3: "Aku dl cuma tak bawain 5rb anak2…Udh bs beli mie ayam tuh"
Ibu 2: "Aku kemaren anak2 pertama sklh aku bawain uang 10rb diketawain sm temenku. Ktnya ga cukup minimal 25rb"
Ibu 1: "Klo anakku kan cowok doyan makan sama jajan…jd klo aku bawain uang dikit..hihihi..apalg dia osis kdg sampe magrib…skrg mgk 50rb ya :( :( "
Ibu 4: "Itu utk tahun ini mbak. Kl nanti tahun 2017 mbak balik, mungkin udah lebih lagi >:)"
Ibu 1: :*( :*( :*(
Laporan pandangan mata di chat di lain hari:
Ibu 1: "Telur aku beli di pasar sekilo 24rb.. Tempe kecil aja udah 6rb sekarang. Yg lbh luar biasa lagi kemaren pas lebaran ayam kampong harganya 75rb di pasar, blm motongnya itu :\"
Ibu 2: "Wahhh, April kmrn telor msh 15rb perasaan..itu aja udh kaget bgd coz terakhir beli sebelum ke BNE (6 bln yg lalu) msh 10rb ((+_+))"
Ibu 3: "Alhamdulillah. Ternyata hidup di desa ada enaknya juga. Yang pasti mahal itu daging sapi. 26rb ¼ kg. Gak tau sekarang. Langsung ilfil kalau beli daging.(>_<)"
Ibu 4: "@ibu 2:siap2 aja kl ke Bandung, pada mihil juga. Ayam sekilo 32 rb, telor skilo kmrn beli 23 rb."
Ibu 5:"Ya ampuuuuun, jadi deg2an yaaaa mo mudik O_o".
Jadi, kenapa realitas berbeda dengan statistik yang tampil anggun di atas?
Beberapa kemungkinan penjelasan:
- “Realitas” ini terjadi tahun 2015, di luar rentang statistik tersebut. Walaupun, kok beda waktu sebentar aja tapi beda harga jauh bingits ya?
- CPI biasanya dibatasi pada “the most commonly used consumer items”, semisal bahan pangan seperti sembako dan barang lain seperti sabun, shampoo dan sejenisnya. Nah, pertanyaannya, apakah item – item yang digunakan untuk menghasilkan statistik di atas mewakili “the most commonly used consumer items” tersebut?
- Indonesia kan luas, ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Apakah sampling yang dilakukan sudah benar – benar mewakili keseluruhan elemen masyarakat Indonesia dengan karakteristik ke-ekonomi-an yang beragam?
Dan masih banyak kemungkinan lainnya.
Tapi, kalau masih penasaran juga, hayuk, kita coba hitung sendiri CPI. Gampang kok. Ikuti saja langkah – langkah berikut:
- Kumpulkan data harga – harga tahun lalu. Buat yang rapi menyimpan struk belanja, ini mah nggak masalah. Supaya simple, gunakan harga di 1 atau 2 bulan tertentu saja --> jumlahkan harganya, sebut H1.
- Kumpulkan data harga terkini. Usahakan untuk barang yang sama dengan data barang tahun lalu --> jumlahkan harganya, sebut H2.
- CPI = H2/H1, jika > 1 berarti terjadi kenaikan harga, dan sebaliknya.
Simpel kan? Ya dibikin simple memang…
Itu untuk skala kecil. Bagaimana jika ada banyak item yang harus dipertimbangkan, yang mungkin jenisnya dan skala harganya berbeda – beda? Bagaimana meringkasnya? Ada banyak metode yang bisa digunakan. Salah satu metode statistika yang bisa digunakan adalah analisis komponen utama, atau bahasa ‘sononya’ dikenal dengan
Principal Component Analysis (PCA). Prinsipnya simple kok. Bagaimana meringkas informasi dari sekian banyak item menjadi hanya beberapa item sehingga mudah untuk dilakukan penilaian. Bagi yang tertarik untuk sedikit mengupas teknis statistika dan mencoba mengolah sendiri datanya, monggo mampir ke sini (
LINK).
Akhirnya, tiba juga kita di penghujung acara. Jadi, kesimpulannya apa nih? Jokowi apa Erdogan?
Wah, kalau pertanyaan itu berat euyy jawabnya. What I can say is, I love my country so much :)
Ikutan klik share gak ya buat tabel itu? Kan kelihatannya objektif toh? Itu terserah keyakinan anda sekalian. Untuk menunjukkan kelebihan kita, tidak harus dengan mengorek kekurangan orang lain bukan? Kalaupun memang kinerja sudah bagus, apakah itu cukup untuk mengejar ketertinggalan yang ada? Lagian, kenapa pula harus banding - bandingin sih? Domainnya beda, tantangannya beda, kenapa harus dipaksakan untuk tampil sama?
Mengutip kata Andy Hunt, "Only dead fish go with the flow." Kalau saya boleh menambahkan, "Why not, going with the flow? If you know exactly the reason for it."
Salam damai ala BundaBun ;)
No comments:
Post a Comment
Relevant & Respectful Comments Only.