9 Desember 2015. Pilkada serentak tahap pertama akan dilaksanakan (
link).
Geliat politik mulai menghangat, jika tak bisa dikatakan memanas. Mulai ramai berita para anggota dewan yang terhormat, yang katanya adalah wakil rakyat, yang untuk memilihnya menguras sumber daya yang tak sedikit, yang dahulu penuh dengan buaian janji - janji surga untuk melihat dengan mata rakyat, mendengar dengan telinga rakyat, bekerja hanya demi rakyat, kini mulai mengundurkan diri dari posisi tersebut. Untuk apa? Tentu ada yang lebih memikat. Menjadi penguasa, raja - raja kecil di daerah, dengan janji - janji surga edisi ke-sekian.
Selebritis dari kalangan artis dan penyanyi pun tak mau ketinggalan. Bermodalkan ketenaran dan polesan kata - kata indah, kursi jabatan nan empuk kian nampak di depan mata. Bahkan, para mantan koruptor pun (
link) tak segan - segan mencalonkan diri kembali, di daerah yang sama, untuk jabatan yang sama bahkan lebih tinggi lagi. Entah produk kosmetik super jenis apa yang dipakai untuk pemoles wajah mereka, sehingga rasa malu itu tak tersirat sedikit pun. Atau memang urat malunya sudah tidak ada?
Ah, janganlah pesimis begitu kawan. Mereka pasti sudah mempertimbangkan masak - masak. Masa iya sedemikian bodohnya nyalon dengan biaya ber-M-M, kalau tidak yakin menang?
Siapa tau mereka telah melakukan survey lapangan, dan hasilnya peta kekuatan masih dalam genggaman? Dan saya yakin, mereka banyak belajar dari Cak Lontong. Mengapa tidak? Cak Lontong adalah ahli survey paling fenomenal abad ini. Coba simak beberapa survey Cak Lontong berikut ini.
"Hasil survei menunjukkan, 100% anak SMP suka dangdut. 100% anak SMA suka dangdut. Bahkan 100% sarjana suka dangdut.
Kok bisa begitu?
Karena saya surveinya di konser dangdut."
"Dari 100 gamers yang saya survei, semuanya suka main game."
Tak heran jika banyak sekali pengagum Cak Lontong, salah satunya adalah saya. Dan, saya menduga para pengagum lain di luar sana berguru dengan sangat baik kepada pelawak satu ini. Kenapa demikian?
Hal yang sangat sangat lumrah terjadi menjelang pemilihan, entah itu presiden, anggota dewan, gubernur, bupati, ataupun pemilihan - pemilihan lainnya. Para kader partai, atau petugas partai, atau apa pun sebutannya, yang menjadi ujung tombak di lapangan, mulai rajin melakukan gerilya, bahkan
door-to-door.
"
Ibu - ibu, jangan lupa ya besok kita kumpul, kita belajar budidaya tanaman apotik hidup," pesan sang juru tombak. "
Nanti akan dibagikan bibitnya loh, lengkap dengan pot, rugi loh kalau nggak datang."
Namanya juga ibu - ibu. Dengan melambungnya harga - harga kebutuhan pokok, maka apa yang bisa didapatkan secara gratis ya pasti mau. So pasti, acaranya ramai dong. Dan, di akhir acara, tak lupa pesan sponsor pun keluar.
"
Ibu - ibu, jangan lupa ya, nanti nyoblos yang no.1, ini loh. Ingat ya Bu, nomor 1 demi kebaikan kita bersama. Kalau nyoblos nomor berapa ibu - ibu?"
"
Nomor 1," koor para ibu, yang ingin bergegas bubar setelah mendapat jatah masing - masing. Bukan apa - apa, sebentar lagi anak pulang sekolah, makanan belum ada.
"
Minggu depan kita ketemu lagi ya Ibu, di sini lagi. Untuk minggu depan, kita mau demo masak, ayam kremes. Saya akan bawa ayam dan perlengkapannya. Ibu - ibu tinggal bawa nasi sama sambal aja ya, " sang ujung tombak kembali berpesan.
"
Wah, asik tuh Neng. Beneran ya, bawa ayamnya yang banyak. Nanti Nyak boleh ya, minta lebih buat yang di rumah, " sahut Nyak Iroh.
"
Iya Nyak, tenang aja. Asal jangan lupa nomor 1 ya Nyak," senyum simpul sang ujung tombak menjawab.
"
Tenang aja, percaya deh ama Nyak."
Dan pertemuan hari itu pun bubar.
Sang ujung tombak pulang dengan hati senang, tenang. Laporan pun dibuat. Kawasan kulon sudah di tangan, pasti menang.
Ibu - ibu pun pulang, dengan hati senang pula.
"
Emang beneran Nyak, nti mo nyoblos nyang ntu? Emangnya Nyak tau?" tanya Mpok Nimpung.
"
Ah elu mau tau aja, Mpung. Liat aja nti gimana," kata si Nyak. "
Nah elu sendiri, bakal nyoblos nggak?"
"
Kagak tau juga Nyak. Takutnya di tempat nyoblos banyak tukang jual mainan, si Irul malah minta beli macem - macem. Mana duit lagi seret bener ini kita! Mending di rumah aja deh," jawab Mpok Nimpung.
Selang beberapa hari, kubu yang lain pun mulai bergerak. Dari pintu ke pintu, membagikan kaos. Tentunya dengan foto calon pilihan memamerkan senyum pepsodent nan kharismatik.
"
Elu ambil kaosnya jangan lupa coblos orangnya ya. Kalo nggak, mending gua ga kasih nih kaos," ujar si Mamat.
"
Iye, iye. Tenang aja, Bro," jawab Udin sambil cengar-cengir. Lumayan, kaos gratis. Kalo beli, habis berapa duit coba?
Dan, antusiasme warga yang menerima kaos pun menjadi pertanda cerah. "
Jagoan saya pasti menang," batin si Udin. Laporan pun dibuat.
Jadi tak heran kalau masing - masing kubu sama - sama yakin akan menang. Sama - sama yakin didukung penuh oleh rakyat. Bahkan, agar lebih intelek sedikit, mengklaim punya data survey. Survey gitu loh...
Berani bantah? Itu mah karena ga bisa terima kekalahan aja. Jelas - jelas data sudah berbicara. Ini dataku, mana datamu? Begitulah kira - kira.
Masa sih?
Iya lah. Pilpres yang lalu adalah contohnya. Kedua kubu sama - sama mengklaim menang (
link) yang tak pelak menimbulkan polemik berkepanjangan (
link). Bahkan ada yang demikian penuh percaya diri menyatakan bahwa datanya bukan sekadar perkiraan semata, melainkan real count (
link). Semua berlomba - lomba urun bicara, dari yang katanya pakar segala macam pakar, hingga Mang Otong si tukang sayur sambil meladeni ibu - ibu yang sibuk pilah - pilah kangkung diselingi omelan kenapa cabe udah mahal, ga pedes lagi!
Tak terbilang pertemanan yang putus,
unfriend menjadi pilihan di laman Facebook jika sudah tak tahan melihat makian dari pendukung garis keras masing - masing calon.
Padahal, kalau saja mereka mau terbuka bagaimana data tersebut diperoleh, tak perlu urat leher ini tegang beradu argumen hanya berlandaskan emosi, tak perlu jari - jari tangan menjadi pegal menuliskan caci maki di laman sosial media untuk kubu sebelah, tak perlu emosi terkuras karena lelah menahan amarah membaca postingan yang panas membara.
Sederhana sekali solusinya. Mbok yao berguru jangan setengah - setengah.
Lihatlah Cak Lontong. Dia tak segan membagi ilmunya. Survey penggemar dangdut di konser dangdut. Survey pencinta game di kalangan gamers. Tidak ada yang perlu diperdebatkan toh hasilnya? Semua menerima dengan legowo, sepakat dengan Cak Lontong. Kalau saja mereka mengikuti jejak Cak Lontong, terbuka dengan metodenya, mungkin bisa dipahami klaim kemenangan masing - masing calon, tanpa harus berbusa - busa berargumen dari A hingga Z. Toh, apa yang terjadi dalam bilik suara hanya sang pencoblos dan Tuhan yang tahu, plus dinding bilik yang menjadi saksi bisu.
Sayangnya, yang terjadi tidaklah demikian (
link1,
link2), yang ujung - ujungnya bisa berakhir di ranah hukum (
link). Semoga hal yang sama tidak terulang di pilkada serentak nanti. Sebagai sedikit bekal, silakan baca
ini, dan
ini untuk antisipasi serangan berita hasil pilkada mendatang. Tapi, sebelum itu, mari berguru dulu pada sang maestro survey, Cak Lontong.
https://www.youtube.com/watch?v=Rbl_iwXI4jM
Salam lemper. Eh, maksudnya, salam damai ala BundaBun ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Relevant & Respectful Comments Only.