Memahami Jaringan Terorisme dengan Metode Bayesian


Noordin M. Top.  Pernah dengar nama ini? Terlepas dari kontroversi akan kebenarannya, ia selalu dikaitkan dengan sejumlah kasus terorisme. Sebut saja kasus pengeboman hotel JW Marriot tahun 2003, kedutaan besar Australia tahun 2004, bom Bali tahun 2005, dan JW Marriot - Ritz Carlton tahun 2009 (wikipedia).  Pada akhirnya Noordin, demikian ia biasa dikenal, tewas pada penggerebekan oleh tim Densus 88 di Solo, 17 September 2009.  Tentu saja saya tidak akan membahas siapa, apa, kenapa dan bagaimana kiprah Noordin dalam konteks yang biasa disajikan pada masyarakat umum selama ini. Pun, apakah ia memang seorang teroris sebagaimana disematkan banyak orang, atau justru layak menyandang gelar syuhada sebagaimana keyakinan sebagian pihak yang lain, itu di luar ranah saya untuk mengurainya.  Ia muncul dalam tulisan ini semata - mata karena presentasi dari seorang pembicara pada mini-conference Bayes on the Beach yang saya ikuti awal Desember ini. Adalah statistikawan dari University of Melbourne, Professor Murray Aitkin namanya, memaparkan topik yang cukup menarik, berjudul "How many classes? Statistical modelling of a social network and a terrorist network, with a latent class model and Bayesian model comparisons".  Menarik bagi saya, karena beberapa hal: pencantuman kata terrorist, yang walaupun tidak diakui secara eksplisit, biasanya di-identik-kan dengan muslim, dan saya adalah satu dari 2 orang dengan atribut ke-Islam-an yang terpampang nyata di ruangan itu: saya yang berjilbab dan seorang lagi dari Arab dengan abaya dan cadar serba hitamnya. Tidak ada diskriminasi sebenarnya, kami diperlakukan sama seperti yang lain, komunikasi dan berbagai diskusi pun berjalan normal. Namun, yaah, namanya juga perasaan... sempat terbersit rasa tidak nyaman mendengar kata terrorist itu disebutkan.  Terlebih lagi, dalam pemaparannya, si Professor ini menggunakan kasus Noordin M. Top sebagai satu contoh studi yang dia lakukan. Nama Indonesia pun berulang kali disebut. Walaupun Noordin ini sebenarnya warga Malaysia, namun karena banyak berkiprah di Indonesia, maka tak ayal, Indonesia lah yang kerap disebut berkaitan dengan ini.

Pada presentasinya, Professor Murray memaparkan mengenai model RASCH, salah satu metode statistika yang sangat berguna untuk peramalan pada data kategorik. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk melihat bagaimana trend pengelompokan pada sejumlah objek berdasarkan beberapa pengukuran tertentu. Clustering, biasanya metode ini yang sudah umum dikenal untuk tujuan seperti ini. Akan tetapi pada clustering yang standar, pengelompokan dilakukan berdasarkan kemiripan, diukur dari jarak antar objek. Karena menggunakan jarak, tentulah data berskala numerik menjadi keniscayaan. Akan tetapi, bagaimana jika yang kita miliki hanyalah data berupa, misal, hadir atau tidak pada suatu pertemuan? Bagaimana melakukan peramalan, dengan hanya berdasarkan informasi ini? Itulah yang dipaparkan pada presentasi Professor Murray, dengan pendekatan Bayesian tentunya. Informasi mengenai berbagai pertemuan yang diadakan oleh Noordin dan jaringannya direpresentasikan dalam matriks data seperti berikut: Akan tetapi, bagaimana jika yang kita miliki hanyalah data berupa, misal, hadir atau tidak pada suatu pertemuan? Bagaimana melakukan peramalan, dengan hanya berdasarkan informasi ini? Itulah yang dipaparkan pada presentasi Professor Murray, dengan pendekatan Bayesian tentunya. Informasi mengenai berbagai pertemuan yang diadakan oleh Noordin dan jaringannya direpresentasikan dalam matriks data seperti berikut:

Sumber: https://botb2015.files.wordpress.com/2015/12/invited-presentation-3-murray-aitkin.pdf

Dengan serangkaian prosedur pengolahan data dan validasi, maka diperoleh hasil seperti berikut:

                        

             Sumber: https://botb2015.files.wordpress.com/2015/12/invited-presentation-3-murray-aitkin.pdf

Kesimpulannya? Berdasarkan 45 pertemuan dari 74 orang yang diduga termasuk dalam jaringan Noordin, model menyarankan untuk membagi mereka atas 3 kelompok: pimpinan (perencana aksi), yang kehadirannya paling intensif dalam setiap pertemuan, trainers (yang berhubungan langsung dengan pimpinan dan mendoktrin anggota di level bawah), dan footsoldiers (level terbawah dalam jaringan ini, tidak berhubungan langsung dengan pimpinan, dilatih oleh para trainers). Dari 74 anggota jaringan ini, per tahun 2006, 45 orang diantaranya dinyatakan meninggal dalam aksi bom bunuh diri ataupun berada dalam penjara.

Sementara kita masih sibuk dengan berbagai "nyiyirisasi" yang tidak penting semata karena ketidaksukaan atas kelompok yang dirasa berseberangan, percayalah, orang- orang di luar sana sudah bergerak jauh. Tak lama lagi, tanpa kita sadari, ternyata setiap gerak gerik kita dengan mudahnya dapat dibaca, dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Ini bukan politik! Ini masalah data, dan bagaimana kita memanfaatkan data tersebut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Relevant & Respectful Comments Only.